The philosophers have only interpreted the world, in various ways; the
point,
however, is to change it. Karl Marx
Tidak sedikit
mahasiswa baru sosiologi, bahkan yang lama sekalipun bertanya-tanya tentang apa
guna ilmu yang dipelajarinya? Apa hubungan sosiologi
dengan kehidupan nyata, alias dunia profesi yang akan dihadapinya. Tulisan ini
dibuat untuk meningkatkan motivasi pribadi dan sekaligus nilai-nilai sosial
pendukung setiap maha-siswa sosiologi dalam mempelajari ilmunya. Bahwa ternyata
cukup banyak hal yang bisa dilakukan setelah mempelajari sosiologi, tentu
dengan usaha serius.
Asal Mula ‘Sosiologi’
Sudah banyak tokoh yang mencoba mengamati manusia dan
masyarakat. Mulai Konfusius (551-479
SM) di Cina; Plato (427-347 SM)
dan Aristoteles (384-322 SM) di
Yunani; Ibn Kaldun (1332-1406) di
Arab; bahkan sastrawan ternama dari Inggris William
Shakespeare (1564-1616) pun telah membuat refleksi tentang kehidupan
manusia pada jamannya masing-masing. Namun, tokoh-tokoh tersebut masih lebih
tertarik untuk membayangkan masyarakat yang
ideal atau masyarakat yang
seharusnya, tanpa melihat masyarakat sebagai apa adanya. Suatu
pendekatan yang positivis memang, namun itu adalah lajur yang mungkin harus
ditempuh untuk mencapai pada tahap-tahap selanjutnya.
Barulah
pada tahun 1838 seorang pe-mikir Perancis Auguste
Comte (1798-1853) mematenkan istilah ‘sosiologi’ sebagai cara baru
melihat dunia, khususnya masyarakat yang menghidupi dunia itu. Comte menawarkan sebuah cara pandang
melihat masyarakat sebagai apa
adanya (yang kemudian terkenal dengan aliran positivism). Positivism berusaha
menjelaskan sesuatu objek dari apa yang tampak. Positivism, dalam perkembangannya,
mendapat kritik tajam dari pemikir. Kemudian muncul aliran baru bernama post-positivism,
yang menjelaskan obyek dari hal-hal yang tak tampak. Pertanyaannya dasarnya,
“Ada apa di balik peristiwa itu?”
Dari sini
kita bisa melihat sosiologi bukanlah ilmu yang statis dan kaku (sak-klek),
melainkan selalu dinamis dan bergerak menyesuaikan dengan konteks tempatnya
hidup. Bagi sosiolog, permasalahan teknis yang dihadapi bukanlah menentukan
aliran mana yang paling tepat untuk digunakan (positivism atau post-positivism),
melainkan bagaimana memadukan aliran-aliran yang ada tersebut untuk mendapatkan
pemahaman lebih menyeluruh tentang masyarakat.
Perkembangan Sosiologi
Sosiologi terus berkembang
pesat sejalan dengan perubahan sosial yang terjadi sangat cepat sejak abad
ke-17 sampai sekarang. Setidaknya, ada tiga hal yang menjadi variabel penyebab
percepatan itu, yaitu:
(1) Pertumbuhan
penduduk yang sangat pesat. Sampai 1990, bumi ini telah dihuni
lebih dari 5,5 milyar manusia. Di Indonesia sendiri, sampai saat ini, sudah
lebih dari 200 juta penduduk. Semakin banyak manusia makin kompleks pula
interaksi dan masalah sosial yang bakal terjadi. Di sinilah sosiolog dituntut
untuk tidak pernah ‘lelah’ untuk terus mengikuti perubahan sosial dan
menjelaskannya;
(2) Inovasi
teknologi yang terus berganti. Mulai dari terjadinya Revolusi Industri (yaitu
penggunaan teknologi dalam industri) mengakibatkan manusia yang bertambah
banyak itu kehilangan
pekerjaan, masalah sosial baru bermunculan pesat. Hubungan manusia
dan teknologi merupakan kajian menarik yang bisa digali lebih dalam, karena
pada per-kembangan dan pembuatan teknologi (termasuk di dalamnya adalah budaya
atau ‘aturan main’ yang menentukan perilaku) telah menjadi ‘tujuan’ tindakan
manusia, bukan sebagai ‘sarana’ untuk mencapai tujuan hidup (Habermas, 1990). Apalagi kini
perkembangan teknologi informasi telah mengubah secara drastis pola-pola
interaksi sosial antar-manusia, dari face
to face menuju via
mass media. Model interaksi baru semacam ini telah menggeser hampir
keseluruhan pandangan sosiologis ten-tang bagaimana manusia melakukan ‘kontak’
dan ‘komunikasi’, berinteraksi kata sosiolog Indonesia Soerjono Soekanto. Padahal, dalam pertemuan face to face terkadang
masih dibutuhkan dalam interaksi (dan terkadang model inilah yang paling
menentukan);
(3) Perubahan
suhu politik ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan, mengikuti Karl Marx (1818-1883), mempunyai
kekuatan untuk mengubah masyarakat. Asumsi Marx
ini dikembangkan Michel Foucault yang
melihat lahirnya pengetahuan tidak bisa terlepas dari variabel yang bernama
kekuasaan. Katanya, ketika ada kekuasaanlah pengetahuan bisa ada. Idealnya,
kembali pada Marx, ilmu tidak
hanya digunakan untuk menjelaskan realitas sosial yang terjadi, namun yang
lebih penting adalah berusaha meniadakan
ketidakadilan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Pertanyaannya,
apa guna ilmu pengetahuan terus berkembang (dan dikembangkan) jika
ketidakadilan sosial tetap eksis, bahkan semakin besar? Semangat mewujudkan
keadilan sosial itulah yang melatarbelakangi meletusnya berbagai macam gerakan
sosial. Kata ‘kemerdekaan’ (liberty)
menjadi kata yang sakral untuk diperjuangkan, bahkan hingga kini dalam wacana
hak asasi manusia (HAM).
Atas dasar
tiga variabel itulah, sosiologi seperti mendapatkan angin segar untuk terus
menjamur dan berkembang pesat. Sayangnya, sistem persekolahan (pendidikan
formal) di Indonesia, dan negara-negara lain pada umumnya, lebih berorientasi
pada kepentingan dunia industri daripada masyarakat yang ditinggalinya.
Kebanyakan ilmu yang dipelajari perguruan tinggi (termasuk sosiologi) telah
‘tercerabut’ dari akarnya, sehingga ilmu yang dipelajari tidak bisa digunakan
dan berguna bagi mayoritas penduduk. Contoh, di Pulau Jawa lebih dari dua
pertiga penduduknya adalah petani (dan nelayan) yang menggantungkan hidupnya
pada alam (tanah dan laut), namun tidak banyak perguruan tinggi di Pulau Jawa
(baik negeri ataupun swasta) yang menawarkan program-program studi yang
berhubungan langsung dengan masalah pengembangan pertanian, misalnya. Kalau
ada, peminatnya pun tidak banyak (dan biasanya gengsinya rendah). Ironisnya,
jurusan-jurusan ini semakin hari semakin menyusut keberadaannya.
Ini
hanyalah sebuah contoh ketidakadilan yang dibentuk secara struktural, yang
kemudian berdampak pada kesadaran kolektif masyarakat. Kondisi semacam ini
hanya semakin memperkokoh citra perguruan tinggi sebagai ‘menara gading’.
Paradigma-Paradigma Sosiologi
Teori-teori sosiologi semakin hari tambah banyak dan semakin
variatif. Puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan teori sudah dibangun oleh
para sosiolog di seluruh belahan dunia ini. Dari teori-teori sosiologi yang
muncul itu, pada dasarnya, dibangun berdasarkan tiga paradigma teoritik, yaitu:
(1) Paradigma
struktural-fungsional,
merupakan paradigma yang paling berpengaruh dalam perkembangan sosiologi.
Paradigma ini berasumsi masyarakat sebagai sebuah sistem yang kompleks di mana setiap bagian dalam masyarakat
saling bekerjasama untuk menjaga stabilitas. Ada dua kata kunci,
yaitu ‘struktur’ dan ‘fungsi’. Struktur
sosial adalah pola-pola sosial yang relatif stabil dalam jangka
waktu yang lama. Fungsi
sosial adalah konsekuensi yang dilakukan untuk menjaga kestabilan.
Ada dua macam fungsi, yaitu fungsi
manifes (atau fungsi yang disadari) dan fungsi laten (atau fungsi yang tidak
disadari). Sedangkan jika struktur tidak berhasil mewujudkan kestabilan, maka
disebut disfungsi
sosial.
Contoh
kasus, pendidikan mempunyai fungsi manifes mengajarkan keterampilan pada
generasi yang lebih muda, agar siap menggantikan generasi yang lebih tua
(fungsi produksi tenaga kerja). Fungsi laten pendidikan adalah melakukan
internalisasi nilai-nilai dari generasi tua. Lewat pendidikan, diajarkan tata
krama (manner)
dalam masyarakat (fungsi sosialisasi). Seiring dengan usaha institusionalisasi
pendidikan men-jadi sekolah formal, ditambah dengan meningkatnya kesibukan
orangtua dengan pekerjaannya, akibatnya orang-tua pun pasrah bongkokan
pada sekolah untuk urusan pendidikan anak-anaknya. Pendidikan dianggap semata
tugas sekolah, dengan mengesampingkan peran institusi yang lain dalam melakukan
fungsi pendidikan.
(2) Paradigma
konflik-sosial.
Masih dalam analisis makro, paradigma ini mencoba ‘membuka mata’ para penganut
paradigma struktural-fungsional tentang kestabilan yang terjadi dalam
masyarakat. Paradigma ini mengasumsikan masyarakat adalah sistem yang kompleks,
ditandai oleh terjadinya
ketidakadilan sosial dan konflik yang menggerakkan masyarakat itu.
Paradigma ini kuat dipengaruhi pemikiran Marx yang melihat masyarakat terdiri
dari kelas-kelas sosial yang lebih bersifat stratifikasi (bertingkat) ketimbang
diferensial (sejajar).
Contoh
kasus, sistem pendidikan formal (persekolahan), seperti dikatakan Randall Collins (dalam Wilonoyudho, 2005) adalah awal dari
proses stratifikasi sosial. Akibat masuknya pengaruh kekuatan ekonomi,
menyebabkan pendidikan yang baik dan bagus hanya bisa didapatkan oleh siapa
yang bisa ‘membelinya’. Beragam fasilitas pendukung sekolah, seperti: buku dan
majalah, televisi dan radio, internet, dan kursus-kursus di luar sekolah juga
hanya bisa diikuti oleh kelas ekonomi mapan. Bagi yang tidak memiliki kekuatan
ekonomi akan semakin tertinggal. Jadi, mobilitas sosial vertikal melalui
pendidikan tinggal menjadi kenangan dan impian semata.
(3) Paradigma
interaksi-simbolik. Tidak seperti dua paradigma sebelumnya,
paradigma ini melihat masyarakat dari level mikro. Masyarakat diasumsikan
sebagai produk
interaksi sehari-hari antar-manusia. Ada dua konsep kunci dalam
interaksi sosial, yaitu status
sosial (posisi sosial seseorang dalam masyarakat) dan peran sosial (tugas-tugas
yang harus dilakoni seseorang akibat posisi sosial yang melekat dalam dirinya).
Dalam
praktiknya, status sosial tidak sakklek,
melainkan selalu berubah sesuai dengan ruang dan waktu tempat se-seorang itu
hidup. Perubahan status itu berdampak pada perubahan peran sosial seseorang
secara mendadak pula. Kondisi ini potensial menyebabkan konflik peran (ketidaksesuaian
peran sosial dalam dua atau lebih status sosial yang sedang terjadi secara
bersamaan), yang menjadi akar permasalahan sosial secara makro.
Contoh
kasus, keberhasilan pendidikan formal tidak melulu ditentukan oleh struktur,
(baca: sistem pendidikan), melainkan lebih ditentukan oleh interaksi
sehari-hari yang terjadi di sekolah itu. Bukan jaminan, sekolah favorit
serta-merta akan menghasilkan murid yang berkualitas pula. Yang juga penting
adalah, misalnya, bagaimana cara mengajar seorang guru di dalam kelas; apakah
seorang guru mau membimbing murid-muridnya di luar kelas; apakah si murid aktif
dalam diskusi (di dalam ataupun di luar kelas); apakah murid juga aktif mencari
informasi lain tentang suatu matapelajaran selain dari buku dan guru yang ada;
apakah murid juga melatih keterampilan-keterampilan lain.
Singkat
kata, keberhasilan pendidikan terkadang lebih ditentukan kreativitas dari
masing-masing aktor dalam masyarakat. Kebiasaan yang dilakukan. Komunitas yang
digelutinya. Aktivitas yang ditekuni seseorang. Karenanya, ‘sukses’ melalui
pendidikan menjadi sangat relatif, ukurannya tidak hanya sebatas dilihat dari
nilai yang bagus.
Meskipun
kelihatannya saling bertentangan, namun tidak ada yang paling benar diantara
ketiga paradigma itu. Yang ada hanya saling melengkapi. Sosiolog profesional
adalah yang berhasil memadukan ketiga paradigma tersebut untuk menjelas-kan
fenomena untuk mendapatkan penjelasan yang lebih menyeluruh.
Berpikir Sosiologis
Hal tersulit dalam
mempelajari sosiologi bukanlah menghafalkan, memahami ataupun menerapkan
teori-teori atau paradigma sosiologi yang ada, melainkan bagaimana berpikir sosiologis ketika
bertemu pada suatu masalah, apapun itu. Macionis
(1997) menawarkan tiga kerangka berpikir sosiologis, yaitu:
(1) Melihat
keseluruhan melalui sebagian. Berpikir sosiologis ibarat seorang
ilmuwan mikrobiologi yang mengguna-kan mikroskop dalam melihat DNA untuk
mengetahui asal-usul seorang manusia. Jadi, sosiolog tidak perlu melihat
keseluruhan. Karena tidak mungkin kita akan meneliti semua anggota masyarakat.
Dalam metodologi cara berpikir macam ini diturunkan menjadi teknik sampling. Cara
melihat semacam ini jarang dilakukan oleh disiplin lain. Antropologi, misalnya,
hanya melihat pada ‘sebagian’ itu secara mendalam. Psikologi pun cenderung
melakukan hal serupa. Sosiologi berusaha melakukan generalisasi, inilah ciri
khas sosiologi, sekaligus kelemahannya;
(2) Melihat
keanehan-keanehan dalam kejadian sehari-hari. Seorang sosiolog akan
melihat kejadian yang dianggap biasa oleh orang kebanyakan sebagai hal yang
aneh. Bagi awam, cara berpikir ini bisa dikatakan sebagai tindakan iseng atau
kurang kerjaan, namun bagi sosiolog pemula cara inilah yang sering digunakan.
Tugas sosiolog, kemudian, adalah menggali lebih dalam tentang apa penyebab
masalah sosial tersebut. Sosiolog berusaha mencari rasionalitas manusia yang
melakukan tindakan;
(3) Melihat
individu dalam konteks sosialnya. Sosiolog percaya bahwa setiap
tindakan manusia dibentuk oleh lingkungan yang melingkupi manusia itu. Contoh, Emile Durkheim yang meneliti tentang
fenomena bunuh diri. Lalu, apa yang dilakukannya? Jelas tidak mungkin mengorek
informasi dengan cara melakukan wawancara terhadap orang yang sudah meninggal. Beruntunglah data statistik pada kantor kepolisian waktu
itu cukup baik. Dari data itulah, ditambah dengan wawancara terhadap beberapa
keluarga korban, Durkheim pun
membangun salah satu teori sosiologi yang tetap relevan sampai sekarang tentang
Solidaritas Sosial.
Yang paling
membedakan sosiologi dengan disiplin ilmu sosial lain adalah kriteria berpikir
sosiologis yang ketiga, melihat
individu dalam konteks sosialnya. Pada dasarnya, segala tindakan
manusia tidaklah murni muncul dari dirinya sendiri tetapi dikonstruksikan
secara sosial (socially
constructed). Contoh, motivasi setiap sepasang lelaki dan perempuan
memutuskan untuk menikah tidak hanya ditentukan oleh alasan cinta semata,
melainkan lebih ditentu-kan oleh faktor sosial, yaitu desakan dari orangtua
atau tuntutan dari masyarakat sekitarnya (untuk kasus ‘kumpul kebo’ atau
‘perawan tua’). Bahkan, kesadaran pasangan suami-istri untuk punya anak pun
tidak murni motif pribadi dari pasangan itu, akan tetapi telah terkonstruksi
secara sosial. ‘Hubungan seks’ yang menurut anggapan banyak orang sebagai
urusan privat masing-masing manusia dan dilandasi oleh insting individu
ternyata tidak lepas dari konstruksi masyarakat. Lalu, bagaimana dengan
tindakan sosial yang lain?
Modal-modal ‘Pertempuran Sosial’
Untuk bisa tetap survive dalam medan
(field) pertempuran
sosial) seseorang perlu memiliki modal yang kuat. Pembicaraan tentang modal (capital) dalam
sosiologi terus berkembang sejak Marx hanya
mengartikan-nya sebatas sebagai kepemilikan atas alat-alat produksi. Konsep
modal paling mutakhir ditawarkan Pierre
Bordieu (1930-2002). Bourdieu
menyebutkan empat modal yang membuat manusia bisa bertahan hidup dalam medan
sosial, yaitu (lihat Coriggan,
1997 dan Haryatmoko, 2002):
(1) Modal ekonomi,
kepemilikan atas alat-alat produksi;
(2) Modal sosial, kepemilikan
atas jaringan atau relasi pertemanan;
(3) Modal budaya,
kepemilikan atas pengetahuan dan manner
tertentu;
(4) Modal simbolik,
hal-hal yang meng-utamakan kekuasaan simbolis untuk melegitimasi sesuatu hal.
Jelas, sosiologi
tidak bisa menyediakan modal ekonomi, modal sosial, dan bahkan mungkin modal
simbolik. Modal simbolik diberikan oleh pihak perguruan tinggi dalam bentuk
gelar, Sarjana Sosial. Sosiologi hanya menawarkan sebagian modal budaya, yaitu melatih
untuk berpikir
sosiologis terhadap sebuah masalah. Itu pun kalau mahasiswa
sosiolog mau berlatih untuk menggunakan-nya. Idealnya, profesi sosiolog adalah
peneliti. Akan tetapi, struktur di Indonesia tidak terlalu mendukung
kesejahteraan bagi pelaku di dunia penelitian. Akibatnya, sangat sedikit yang
bertahan di bidang ini. Kemudian, banyak sarjana sosiologi yang misorientasi,
mengalami krisis, bahkan frustasi. Oleh karena itu, seorang mahasiswa sosiologi perlulah
memperbanyak modal yang dimilikinya itu, khususnya modal sosial dan modal
budaya. Modal sosial, seperti: perbanyak pertemanan (jangan hanya teman dari
jurusan sosiologi saja, tapi juga dari disiplin lain), baik-baiklah dengan
orang lain (kenalkan diri Anda), terlibat dalam organisasi (sebanyak mungkin),
atau aktif mengikuti forum-forum diskusi yang ada. Modal budaya, seperti:
kemampuan bahasa asing (Inggris, Jerman, Latin, Mandarin, Jepang dan lainnya),
kebiasaan membaca dan menulis ilmiah maupun populer, penguasaan teknologi
(komputer, internet, dan ponsel), kemauan untuk terus belajar, dan biasakan
untuk selalu berpikir
sosiologis ketika melihat masalah. Suatu saat, menurut Bourdieu, kedua modal tersebut akan
lebih membantu seseorang bertahan hidup (survive) dibandingkan modal
ekonomi dalam medan pertarungan sosial (field). Jadi, apa pun profesi yang
akan digeluti, jadikan kebiasaan berpikir
sosiologis sebagai landasan mengembangkan profesi karena hanya
itulah yang bisa diperoleh seseorang yang belajar sosiologi.
Penutup
Ada banyak ilmu yang
mengambil manusia sebagai objek studinya. Ada kedokteran, biologi, filsafat,
sastra, antropologi, sampai psikologi. Setiap disiplin itu menawarkan wawasan
yang terbatas tentang kehidupan manusia. Namun, bukannya ingin sombong, tapi
sosiologi menawarkan perspektif yang paling luas untuk melihat manusia (dan
masyarakat), sehingga
solusi penyelesaian masalah yang ditawarkan juga lebih banyak dan
variatif.
Yang harus diingat, sosiologi ibarat ‘pisau
yang membantu kita mengupas apel’. Sosiologi hanya alat untuk
mempermudah kita menjelaskan sebuah peristiwa. Sosiolog harus secara konsisten
dan kontekstual menggunakan ‘pisau’ itu, karena terkadang kita langsung
menggigit apel, tanpa mengupasnya terlebih dahulu. Sebagai
sosiolog, mana yang akan Anda pilih?
Daftar Pustaka
Corrigan, Peter (1995), The Sociology of Consumption, London: Sage Publication.
Corrigan, Peter (1995), The Sociology of Consumption, London: Sage Publication.
Habermas, Jurgen (1990), Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi,
LP3ES: Jakarta.
Haryatmoko (2003), “Landasan Teoritis Gerakan
Sosial menurut Pierre Bourdieu. Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa,” artikel
dalam Basis, edisi
khusus Pierre Bourdieu, November-Desember 2003.
Macionis, John J. (1995), Society. The Basics (3rd
ed.), Prentice Hall: New Jersey.
Soekanto, Soerjono (1999
[1982]), Sosiologi.
Suatu Pengantar. PT RajaGrafindo Persada: Jakarta.
Wilonoyudho, Saratri (2005), “Sekolah yang Membunuh Siswanya,” artikel dalam Kompas, Senin, 16
Mei 2005, hal. 41.